Mimpi menuju Open Metaverse — The Next Internet (R)Evolution?

Andi Sama
16 min readApr 8, 2022

--

Single Digital Identity, Interoperability, dan Openness

Andi Sama CIO, Sinergi Wahana Gemilang dengan Cahyati S. Sangaji & Andrew Widjaja, dan Prof. Dr. Meyliana, Binus University

TL;DR;
- Perkembangan Metaverse menuju Open Metaverse dengan berbagai tantangannya: Interoperability, openness, privacy, dan safety. Suatu Evolusi atau Revolusi?
- In Real Life (IRL) di Physical World. Digital Life di Virtual World melalui Spatial Computing: Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), Mixed Reality (MR), dan eXtended Reality (XR).
- Berbagai teknologi pendukung: Cloud, Bigdata, Internet of Things (IoT), Blockchain, dan Artificial Intelligence (AI).
Bernavigasi di Metaverse menggunakan VR Headset (Image Source: Fiona Smith, 2021).

Alangkah indahnya, jika suatu saat nanti, pada waktu bernavigasi dalam metaverse, kita dapat berpindah (teleport) dari satu platform metaverse ke platform lainnya dengan menggunakan digital identify yang sama — single digital identity across platforms. Tidak hanya sekedar bermain game, namun kita juga dapat bekerja dan melakukan interaksi sosial menggunakan berbagai bahasa lisan maupun tulisan (melalui berbagai representasi avatar yang kita pilih), termasuk melakukan transaksi (bisnis, maupun lainnya) dan menggunakan berbagai cryptocurrency yang kompatibel antar platform, secara aman dan nyaman.

Sebelumnya pada artikel “Mulai belajar Investasi? Mari Mengenal NFT”, kita telah diajak untuk mengenal salah satu instrumen dalam metaverse, NFT (Non-Fungible Token). Kita diajak mengenal digital wallet, cryptocurrency dan marketplace, termasuk ilustrasi tentang Samsung 837x di Decentraland. Kita juga diajak membuat NFT kita yang pertama di Opensea.

Nah, kali ini kita akan membahas tentang metaverse, terutama arah perkembangan menuju Open Metaverse di masa yang akan datang.

Selama ini, penerapan awal metaverse banyak kita temui pada gaming, dengan mayoritas penggunanya berasal dari kelompok usia anak-anak sampai remaja. Ke depannya, seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, metaverse juga menyasar target pengguna usia dewasa dengan menggabungkan lingkungan “work” dan “play”, yang akan menjadi semakin terintegrasi dan transparan.

Persepsi bahwa metaverse hanya banyak diterapkan dalam gaming dan lebih untuk konsumsi generasi millenial (generasi-Y) dan generasi-Z, dapat dianalogikan seperti halnya persepsi mobile phone (pada 15+ tahun yang lalu) yang hanya dapat dipakai untuk melakukan panggilan telepon, tidak mungkin ada berbagai aplikasi yang produktif di situ.

Satu saat nanti (mungkin mendekati tahun 2030?), metaverse akan dapat menjadi bagian kehidupan dari banyak orang. Kacamata pintar atau contact lens yang kita pakai akan menjadi gateway untuk berbagai layanan yang tersedia di metaverse, untuk melakukan “work” dan “play” . Seperti halnya mobile phone yang ada saat ini, bahkan yang paling murah sekalipun — dengan berbagai aplikasinya, sudah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari yang sulit terpisahkan.

Berikut adalah daftar isi dalam artikel kali ini “Mimpi menuju Open Metaverse — The Next Internet (R)Evolution”.

  • Metaverse: Pengertian dan Visi.
  • Metaverse dan Spatial Computing.
  • Adopsi Standard, Interoperability, dan Masa Depan Open Metaverse: Platform Metaverse; AR/VR Headset dan Perangkat Pendukung Hardware; Game Engine.
  • Dari Web ke Mobile Application, Menuju Immersive Application.
  • Melihat Ke Depan: Metaverse dan Artificial Intelligence, Bigdata; Metaverse dan IoT — Menjalankan AI pada Perangkat End User; The Seven Layers of the Metaverse; Tantangan dan Potensinya.

Metaverse

Seperti kata seorang panelist pada Augmented World Expo 2021 (AWE.Live, 2022a), “Metaverse is not about taking out the reality, but it is enhancing the reality that we do have”.

Pengertian dan Visi

Metaverse terdiri dari 2 kata, meta dan verse. Meta berarti beyond, dan verse berasal dari kata universe. Sehingga, metaverse memiliki arti “beyond the world as we know today” — lebih dari dunia (physical world) yang kita kenal saat ini.

Physical world yang kita kenal saat ini dikenal juga sebagai IRL (In Real Life), berbeda dengan virtual world yang merupakan digital life dalam metaverse. Di IRL, kita mungkin saja berprofesi sebagai seorang karyawan kantoran biasa; namun di metaverse, kita dapat berprofesi sebagai seorang yang sama sekali berbeda — seorang artist, superhero atau seorang seniman misalnya yang direpresentasikan secara visual melalui suatu avatar yang menyerupai diri kita (atau berbeda sama sekali, tergantung imajinasi kita).

codealdnoah, 2020, “Archer Girl — Claire (VRChat original character)”.
Suatu Avatar yang dibuat menggunakan software tools terbaru: MetaHuman. Avatar ini dapat dijalankan (bergerak, termasuk ekspresi wajah misalnya) pada UnrealEngine (Epic Games, 2022).

Berbagai platform metaverse sedang gencar dikembangkan saat ini. Meta (Facebook) merupakan salah satu yang sangat agresif dan cukup open dengan berbagai rencana ke depannya. Meta juga memiliki komitmen investasi yang luar biasa, milyaran US dollar. Banyak pihak lainnya yang juga memiliki komitmen investasi yang besar: Google, Microsoft, Apple, Amazon, dan Samsung misalnya. Tidak ketinggalan pula Unity, Unreal , NVidia, Qualcomm, dan Sandbox atau bahkan Tesla, Sony, dan Roblox.

Trailer Game: Second Life (2016). Apakah ini yang disebut Metaverse?
Trailer “Oasis” Metaverse dalam film “Ready Player One” (2017). Apakah ini yang disebut Metaverse?

Meta memperkenalkan visi metaverse (Mark Zuckerberg, 2021), sebagai digital shared space yang memungkinkan adanya interaksi virtual secara masif dengan melibatkan banyak pengguna, di mana berbagai hal seputar “work” dan “play” dapat dilakukan secara online dan real-time (Andi Sama, 2022b).

Satu contoh aplikasinya adalah kehadiran jutaan penonton dalam suatu konser virtual di mana masing-masing menggunakan perangkat VR (Virtual Reality) seperti Facebook Oculus 2. Transisi antara virtual world dengan physical world dapat dilakukan dengan penggabungan teknologi VR dan Augmented Reality (AR). Penerapan secara hybrid ini dikenal juga sebagai Mixed Reality (MR).

Suasana suatu party di Metaverse (AWE.Live, 2022a).

Adanya potensi untuk mendapatkan revenue bagi para content creator dalam menciptakan berbagai digital asset menjadikan metaverse ini menjadi semakin menarik. Salah satunya ditunjang dengan adanya kepemilikan yang unik dari berbagai digital asset berbasis NFT (Andi Sama, 2022a).

Proses dari suatu digital object (misal: lagu, lukisan, foto) diubah menjadi digital asset berbasis NFT (setelah sebelumnya di-mint terkebih dahulu: ditulis ke dalam suatu “database terdistribusi” berbasiskan blockchain). Setelah itu, NFT dilakukan listing, untuk kemudian dapat diperjualbelikan (source: nfts-explained-in-two-pictures, datasciencecentral).

Kedepannya, metaverse diprediksi akan dapat menggerakkan banyak hal yang berbasis digital asset, terutama dalam pengembangan ekonomi kreatif. Open metaverse memungkinkan adanya interoperability, openness, privacy, dan security antar berbagai platform metaverse yang ada.

Mungkinkah kita akan melihat adanya Open Metaverse dalam 10 tahun ke depan? — sehingga, digital asset berupa NFT (tanah, mobil, baju, topi, atau digital asset lainnya) atau cryptocurrency yang kita miliki di suatu platform dapat juga digunakan di platform lainnya secara transparan. Mungkinkah ini terjadi mendekati tahun 2030?. Seiring dengan berjalannya waktu, tentunya berbagai pertanyaan kita akan terjawab.

Metaverse dan Spatial Computing

Teknologi Spatial computing (AR, VR, MR, dan XR) merupakan teknologi kunci yang memungkinkan perkembangan metaverse. Juga tentunya ditunjang oleh berbagai perkembangan teknologi di Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), Cloud, Blockchain, dan Bigdata.

Agar kita mulai mengenal berbagai istilah seputar metaverse, mari kita lihat pengertian awal dari beberapa istilah yang sering kita dengar akhir-akhir ini.

Visualisasi perbedaan antara AR (Pokemon Go!) dan VR (VR Chat).

Augmented Reality (AR) memungkinkan adanya virtual world yang di-overlay pada physical world. Satu contoh, penggunaan satu app di smartphone yang menampilkan berbagai virtual object yang di-overlay pada physical world. Game Pokemon Go! merupakan contoh yang populer untuk ini.

Virtual Reality (VR) memungkinkan kita untuk seolah-olah berada di virtual world, melalui berbagai perangkat dan sensor yang terpasang di tubuh kita, yang menstimulasikan sebagian atau seluruh indera yang kita punya (pendengaran, penglihatan, perasa, dan sebagainya). VR adalah 100% dunia digital, virtual world.

Mix Reality (MR) merupakan kombinasi dari VR dan AR. Melalui MR, kita dapat secara dinamis berinteraksi dengan virtual world.

Extended Reality (XR) merupakan dasar yang mencakup semua di atas, baik AR, VR, maupun MR.

Tabel dan gambar berikut memberikan ilustrasi mengenai perbedaan konsep antara VR, AR, MR, dan XR (Zehao He, Xiaomeng Sui, Guofan Jin, and Liangcai Cao, 2019).

Perbandingan antara konsep VR, AR, MR, dan XR yang ditinjau dari virtual content, real content, dan interactivity (Zehao He, Xiaomeng Sui, Guofan Jin, and Liangcai Cao, 2019).
Perbandingan antara konsep VR, AR, MR, dan XR yang ditinjau dari virtual content, real content, dan interactivity (Zehao He, Xiaomeng Sui, Guofan Jin, and Liangcai Cao, 2019); contoh produk yang telah tersedia di pasaran.

Sejalan dengan perkembangannya, tentunya versi baru dari perangkat seperti Oculus Quest 2 (2021) juga dapat masuk dalam kategori Mixed Reality.

Adopsi Standard, Interoperability, dan Masa Depan Open Metaverse

Diskusi panel dalam salah satu sesi di AWE.Live (AWE.Live, 2022b) membahas tentang interoperability antar metaverse, privacy, dan juga interface. Bagaimana menangani interaksi dalam metaverse melalui obyek berbasis 3D & gesture tangan maupun gerakan bola mata misalnya. Berbagai teknologi berbasis IoT dan AI sangat berperan di sini. Bagaimana melakukan tracking terhadap pergerakan bola mata untuk smart glass (kacamata pintar) atau smart contact lens menjadi salah satu hal yang menjadi fokus riset optik saat ini.

Pokemon Go! mungkin merupakan salah satu contoh interoperability yang kita cukup kenal. Pokemon Go! berjalan pada berbagai platform (platform dlam konteks ini adalah platform operating system, bukan platform metaverse).

Platform Metaverse

Meta (Facebook) dengan horizon sebagai metaverse platformnya mulai mengadopsi OpenXR, yang mungkin saja menjadi langkah awal yang baik untuk menuju openness dalam interoperability antar metaverse yang ada saat ini, maupun yang akan ada nantinya.

Salah satu hal penting mendasar adalah adanya suatu interoperability standard di mana berbagai digital asset dari satu platform metaverse dapat digunakan pada platform metaverse lainnya.

Mark Zuckerberg memperkenalkan visi Metaverse “Horizon” dalam acara “Facebook’s annual AR/VR conference” (Mark Zuckerberg, 2021).

OpenXR versi 1.0 yang dirilis ke publik pada awal 2019 (bulan Juli) mencoba memulai untuk mendefinisikan open standard (yang bersifat open, juga royalty free) untuk melakukan akses terhadap platform dan perangkat berbasiskan VR dan AR.

Di dalam Metaverse, masing-masing dari kita dapat merepresentasikan diri dalam bentuk avatar (atau hologram). Kita berinteraksi melalui avatar dengan berbagai digital asset atau virtual object lainnya di virtual world (Mark Zuckerberg, 2021).

Apple, yang dikenal sangat fokus terhadap pengembangan user experience melalui platformnya mungkin saja membuat closed platform untuk versi metaverse-nya, seperti dilakukan oleh perusahaan swasta skala global pada umumnya, dengan minimum interoperability ke platform metaverse lainnya.

Google, Amazon, dan Microsoft (dengan Microsoft Mesh-nya) sebagai pihak swasta dengan kemampuan melakukan investasi skala besar juga sedang membangun versi metaverse-nya masing-masing. Demikian pula dengan NVidia dengan Omniverse-nya.

Dalam waktu dekat, kelihatannya akan sulit bagi para pemain besar ini untuk dapat saling melakukan kolaborasi antar platform, kecuali memang ada potensi untuk memberikan keuntungan yang bermanfaat bagi masing-masing pihak terkait. Bagaimanapun, masing masing akan berusaha melindungi investasinya untuk dapat menghasilkan pendapatan (revenue stream) dari platform yang dibangunnya.

AR/VR Headset dan Perangkat Pendukung Hardware

Ada juga gerakan pengembangan dari sisi platform hardware berbasis chip seperti NVidia dan Qualcomm atau berbagai perangkat interface seperti Microsoft Xbox, nreal Glass, Microsoft Hololens, Facebook Rayban Stories, dan lainnya.

Berbagai AR/VR Headset dan wrist tracker. Image source: Google Image Search.

Kita mengharapkan untuk dapat terus melihat berbagai perkembangan perangkat VR Headset seperti Facebook Oculus Quest 2 atau Smart glass (kacamata pintar) Rayban Stories. Rayban Stories mulai diperkenalkan sejak 2021. Kabarnya, versi terbaru VR Headset Facebook Oculus Quest 2 akan dinamakan Meta Quest dan akan launch di 2022 (nama proyek internal-nya: Cambria).

Akankah ada versi terbaru dari Microsoft Hololens? Bagaimana kabar dari Google Glass, Apple VisionApple AR/VR Headset, HTC VR Wrist Tracker, HTC Vive Flow, Samsung Gear? Atau Sony PS5 VR2 Headset yang baru saja launch di bulan Januari 2022?

Apakah pernah dengar kalau Canon juga sudah punya lensa dual-fisheye EOS R untuk membuat konten 3D VR? Lensa ini mulai tersedia pada bulan Desember 2021.

Personal VR Omni-Directional Treadmill (KATVR, 2022).

Tidak hanya VR Headset di mana kita bisa bernavigasi di metaverse melalui mata dan telinga kita. Ada juga Haptic Vest dan Glove (sarung tangan) di mana kita bisa merasakan sensasi sentuhan melalui kulit kita. Salah satu contohnya adalah glove dari bHaptics, yang rencananya akan mulai tersedia pada kuartal keempat di tahun 2022 ini.

bHaptics: Haptic Glove — (akan tersedia pada Q4 2022).

Terobosan dari pemain inovatif seperti Tesla (melalui platform electric vehicle) atau Roblox, Second Life dan Fortnite (melalui platform game engine) misalnya, mungkin saja dapat memaksa berbagai perusahaan besar untuk melakukan interoperability — karena memang ada kepentingan khusus untuk melakukan integrasi dengan potensi menambah pendapatannya.

Salah satu adegan dalam game: Fortnite “the final battle to save the Island” (Fortnite, 2021).
Mobil listrik Tesla — demonstration, dalam mode “Full Sef Driving” (AI DRIVR, 2021).

Game Engine

Platform game engine dan game development tools yang populer seperti Unreal dan Unity tentunya juga berperan penting di sini. Sifatnya yang bebas digunakan untuk berbagai keperluan (kecuali untuk komersial, ada royalty fee) sangat menunjang terbentuknya komunitas yang mendukung dalam pengembangan game di dunia (Circuit Stream, 2022).

Jika saja tersedia suatu “meta layer” pada berbagai platform — Android dan iOS untuk mobile devices atau “meta layer” pada Unity dan Unreal, berbagai peluang menuju interoperability antar metaverse platform akan semakin terbuka. Termasuk saling sharing berbagai digital asset antar platform.

Dari Web ke Mobile Application, Menuju Immersive Application

Dari perspektif developer (pengembang aplikasi), proses membangun dan mengelola aset 3D (tiga dimensi) serta mengaplikasikannya “secara manual” untuk suatu platform metaverse menjadi suatu tantangan tersendiri — apalagi untuk menerapkannya ke berbagai platform metaverse yang berbeda; yang kadang dapat menjadi sangat kompleks (Alon Grinshpoon, 2021).

Aplikasi berbasis web dan mobile biasanya mengelola aset bersifat statis, walaupun sudah berbentuk 3D atau hologram. Immersive application membawa aset 3D menjadi lebih hidup dan dinamis.

Berbagai tools telah tersedia untuk keperluan pengembangan metaverse ini. Sebagai contoh, SparkAR adalah salah satu software tools yang disediakan oleh Meta (Facebook). Ada juga blender yang merupakan 3D computer graphics software yang bersifat free dan open source untuk pengembangan film animasi, efek visual, seni, model 3D untuk dicetak, motion graphics, aplikasi 3D interaktif, virtual reality dan juga game.

Salah satu aplikasi bernama Echo3D menyediakan solusi berbasis cloud untuk mengelola aset 3D menjadi hologram dan mengintegrasikannya secara realtime dan online ke berbagai platform dan software tools untuk pengembangan aplikasi (Android, iOS, Unity, React Native, Java, Swift, Flutter dan Node.JS).

Echo3D, Content Delivery Platform dan Management sebagai penunjang Metaverse.

Melihat Ke Depan

Immersive application mengintegrasikan berbagai teknologi informasi yang telah ada saat ini. Mulai dari Cloud, Bigdata, AI, sampai IoT dan AIoT (AI on IoT edge, penerapan AI pada berbagai smart device).

Metaverse dan Artificial Intelligence, Bigdata

Kebanyakan AI-model dalam supervised learning memerlukan banyak labeled data, artinya dari banyak contoh relasi antara input dan output, AI-model mencoba melakukan generalisasi untuk memprediksikan output dari suatu input baru, diluar dari training dataset-nya. Mempersiapkan labeled data ini biasanya perlu manual proses yang memakan waktu sangat lama. Melakukan anotasi (untuk gambar atau video misalnya). Tentunya, diluar dari kebutuhan infrastruktur untuk pengelolaan datanya (bigdata).

Kemajuan terkini dari AI (self supervised learning) yang telah memungkinkan pembuatan AI-model tanpa melakukan anotasi merupakan suatu terobosan yang signifikan. Alangkah indahnya jika kita dapat berkata-kata dalam suatu bahasa dan orang lain dapat mengerti apa yang kita katakan secara realtime dalam bahasa mereka sendiri. Berbagai hal berbasiskan AI ini telah, sedang, dan akan terus dikembangkan (Meta AI, 2022).

“Universal Language Translator” yang memungkinkan komunikasi antar bangsa, masing-masing berbicara dengan bahasanya lokal-nya masing-masing dan lawan bicaranya mendengar dalam bahasa lokalnya, termasuk Bahasa Indonesia tentunya. Di masa depan, ini akan dilakukan melalui kacamata Augmented Reality — AR glasses (Meta AI, 2022).
Ilustrasi interaksi antar dua orang di mana salah satunya menggunakan kacamata AR yang memfasilitasi translasi penjelasan dari dokumen yang disajikan dalam bahasa yang berbeda (Meta AI, 2022).

Satu contoh lain yang sederhana, bagaimana AI dapat belajar mengenali gambar seperti layaknya anak-anak mengenali gambar? (Andi Sama, 2022c).

Metaverse dan IoT — Menjalankan AI pada Perangkat End User

Untuk dapat menjalankan AI-model pada end-user devices (VR headset dan Smartphone misalnya), dibutuhkan kemampuan memproses yang cukup tinggi yang biasanya dibantu oleh GPU (Graphics Processing Unit) hardware (AIoT). Ini membuat harga perangkat hardware menjadi tinggi.

Ke depannya, dengan perkembangan teknologi komunikasi nirkabel 5G dan 6G, pemrosesan AI-model dapat dilakukan di Cloud yang memiliki kemampuan komputasi yang jauh lebih tinggi, dan dapat di-share.

The Seven Layers of the Metaverse

Mari kita melihat ilustrasi di bawah ini “The seven layers of the metaverse” (Jon Radoff, 2021a) dan “Peta Ekosistem Metaverse” (Jon Radoff, 2021b).

The seven layers of the metaverse (Jon Radoff, 2021a).

Banyak hal yang menjadi pendukung (dan menjadi peluang bisnis dan investasi juga tentunya) dalam membentuk ekosistem terbuka di metaverse ini. Dari infrastruktur dasar (layer 1 sampai 6 — layer 1 adalah layer yang paling bawah) yang telah kita kenal (5G dan 6G, GPU, Smart Phone dan Wearable, Blockchain, Edge Computing, VR, AR, XR, serta berbagai design tools) sampai ke user-experience di layer-7 di mana kita menjalani berbagai aktifitas di metaverse (bermain game, bersosialisasi, berbelanja, nonton film, dan berbagai aktifitas lainnya).

Peta Ekosistem Metaverse — November 2021 (Jon Radoff, 2021b).

Metaverse, Tantangan dan Potensinya

Arah pengembangan metaverse dan open metaverse membawa berbagai teknologi pendukung ini ke next level, dengan menerapkan berbagai riset terbaru (novel research) yang bersifar open dan interoperable. Sehingga kita dapat berkolaborasi, bekerja “work” dan bermain “play” dalam lingkungan virtual world yang transparan dan terintegrasi, namun tetap memperhatikan aspek keamanan dan privacy.

Transisi dari Web 2.0 (Internet saat ini) ke Web 3.0 (Metaverse).

Berbagai perubahan yang signifikan sangat “mungkin” terjadi. Apakah perubahan ini merupakan suatu evolusi (berubah biasa saja) atau revolusi (berubah secara cepat)?. Internet masa kini (web 2.0)→ Internet masa depan (web 3.0), kehidupan di IRL (In Real Life) → kehidupan dalam Metaverse (Kuldeep Singh, 2022). Kita lihat beberapa diantaranya di bawah ini:

  • Privacy: Selalu terhubung ke Internet → Selalu terhubung ke Metaverse.
  • Privacy: FOGO (Fear of Going Out) — takut dengan dunia nyata karena kebanyakan berada dalam dunia virtual.
  • Privacy: Tidak boleh memasuki suatu tempat tertentu karena memakai kacamata AR/VR atau bahkan contact lens AR/VR (bagaimana mendeteksinya?) — misal: ke museum, bioskop.
  • Identity: Apa itu kehidupan nyata? apa itu kehidupan virtual? sulit membedakan antara real dan fake.
  • Identity: Seseorang membajak identitas kita di sosial media → Seseorang membajak identitas kita di Metaverse.
  • Identity: Kebutuhan akan universal identity — memungkinkan identitas asli seseorang di real life dapat di-trace.
  • Daily Life: Memiliki suatu pekerjaan tertentu, seorang karyawan misalnya → Menjadi seseorang yang sama sekali berbeda, menjadi seorang raja atau ratu misalnya yang memiliki banyak digital asset (harta) dan kekuasaan.
  • Legal: konstitusi di real life → Konstitusi di Metaverse?
  • Legal: Penegakan hukum di real life → Polisi di Metaverse? Pengadilan/Penjara virtual?

Di dunia gaming kita kenal beberapa jenis pekerjaan: game designer (membuat konsep keseluruhan, alur cerita), game artist (membuat aset digital — sketsa, model 2D dan 3D), game programmer (pengembangan software), dan game production (mengelola jadwal produksi, mengelola tim pengembangan). Nah, berbagai pekerjaan ini dapat pula dikembangkan ke arah metaverse.

Apa saja peluang pekerjaan di metaverse? Akankah dalam waktu dekat kita melihat adanya role seperti Metaverse Chief Officer, Metaverse Product Manager, Metaverse Designer, Metaverse Engineer, Metaverse Scientist, Metaverse Cyber Security Consultant, Metaverse Marketing Manager, Metaverse Public Relation? Atau mungkin hanya sebagai Player (baik full-time maupun part-time), dengan motivasi Play-to-Earn — berinvestasi pada berbagai aset NFT (atau mendapatkan reward berupa cryptocurrency).

Bagaimana kalau kita ingin mulai belajar membangun suatu metaverse dengan tools yang berbasiskan open-source? VR Space (Josip Almasi, 2022) dapat menjadi salah satu pilihannya. Bagaimana dengan 3D-assetnya? Apakah kita perlu membuat sendiri? — tentunya perlu, kalau memang 3D-asset yang ada di 3D-asset marketplace belum memenuhi kebutuhan kita. Kita dapat memulai ekplorasi di 3D-asset marketplace, Sketchfab (Sketchfab, 2022) misalnya.

Apakah Metaverse dengan web 3.0-nya akan merupakan revolusi teknologi (menjadi pengganti) dari Internet berbasis web 2.0 seperti yang kita tahu saat ini? Ataukah hanya perkembangan teknologi alami saja (sebuah evolusi) seperti saat munculnya aplikasi berbasis mobile setelah era aplikasi berbasis desktop?

Perbankan

Kalau kita lihat di bidang perbankan di Indonesia: akankah perbankan ritel (atau corporate) di Indonesia akan mengadopsi metaverse untuk berbagai layanannya dalam waktu dekat ini? artinya ada integrasi dengan sistem perbankannya. Membuka cabang di metaverse, membuka layanan pembayaran atau loan dengan menyediakan layanan open banking (API — Application Programming Interface untuk dapat diakses secara external)?. Atau bahkan ada produk-produk perbankan yang dibuat menjadi NFT dengan bekerjasama dengan pemilik brand (atau merchant dalam suatu ekosistem) misalnya.

Pendidikan

“Bayangkan sebuah dunia permainan yang bisa kita jelajahi seperti bermain game, mencari harta karun, mencari power atau item apapun, bertempur dengan musuh untuk meningkatkan level kemampuan, menyelesaikan misi, dan lain-lain. Sangat seru dan menyenangkan,” demikian menurut Prof. Dr. Meyliana, ketika berbincang dengan redaksi SWG Insight pada pertengahan bulan Maret 2022, sesaat setelah resmi dilantik menjadi seorang Guru Besar di bidang Sistem Informasi di Binus University.

Potensi metaverse untuk dunia pendidikan sangat penting karena belajar secara fun, secara menyenangkan akan membangkitkan mood dan motivasi mahasiswa. Sekarang diskusinya adalah gamification learning.

Prof. Dr. Meyliana, Binus University

Ia melanjutkan “Itu semua dapat diterjemahkan ke dalam proses belajar dalam learning management system berbasiskan metaverse, dimana mahasiswa dapat meningkatkan power dengan membaca suatu teori dan menyelesaikan test-nya, dapat memperoleh badge setelah menyelesaikan course, bahkan avatar dosennya dapat digambarkan sesuai jabatan akademiknya, misal pakai toga untuk professor. Hal ini tentu akan sangat menyenangkan bagi mahasiswa dan dosen. Sesuatu yang dilakukan dengan senang dan gembira akan memberikan hasil yang sangat baik. Jadi ini pentingnya metaverse dalam dunia pendidikan.”

Meyliana kembali melanjutkan “Jika ditanyakan apa peranan blockchain dalam metaverse maka kita harus tahu bahwa metaverse terdiri dari 3 komponen utama yaitu Artifiacial Intelligence, Blockchain dan Augmented Reality/Virtual Reality. Blockchain adalah infrastruktur utama dalam metaverse terutama karena konsep model bisnis yang dijalankan dalam metaverse akan menggunakan cryptocurrency. Blockchain adalah ledger system untuk cryptocurrency. Jadi peranan blockchain dalam metaverse adalah sebagai jalan utama (infrastruktur yang paling mendasar)”.

Pariwisata

Sektor industri pariwisata dapat segera memanfaatkan perkembangan ini. Membawa para peserta untuk melakukan virtual tour ke satu destinasi misalnya sebagai pendahuluan sebelum secara fisik berkunjung ke satu kota atau negara tertentu.

Telekomunikasi

Bagaimana pula penyedia layanan telekomunikasi memberikan value added services yang tidak hanya terbatas sebagai penyedia bandwidth saja, terutama dengan mulai beroperasinya jaringan berkecepatan tinggi seperti 5G saat ini atau bahkan 6G di mana mendatang? Mendukung perubahan AI-inferencing (menjalankan AI model) yang ukurannya besar dari perangkat IoT-Edge kembali ke Cloud misalnya?

Suatu saat nanti, saat berbagai platform metaverse dapat saling terhubung, tentunya akan menjadi pengalaman yang menyenangkan (dan menguntungkan) bagi para stakeholder-nya (pembuat platform, content creator, investor, brand owner, dan tentunya para pengguna/user). Interoperability dan openness dari berbagai platform metaverse menjadi hal yang menjadi key-success-factor di sini.

Seorang user, walaupun hanya melakukan aktivitas minimum di metaverse akan juga dapat memperoleh reward dengan mekanisme play-to-earn. Mendapatkan sekian MANA misalnya, cryptocurrenty di decentraland metaverse. Atau sekian SAND di sandbox metaverse.

Saling terhubung artinya tercipta suatu open economy di mana ekosistem open metaverse telah terbentuk. Seorang user dapat menggunakan single identity melalui digital walletnya (misal metamask) untuk mengakses berbagai metaverse yang ada (sandbox, horizon, roblox, fortnite, decentraland, opensea, dan sebagainya — baik yang telah ada sekarang, maupun yang akan berkembang di kemudian hari). Wallet yang dibawa oleh seorang user berisi berbagai digital asset (NFT) dan cryptocurrency yang didapatkan dari berbagai metaverse. Berbagai digital asset ini akan dapat dipergunakan serta diperjualbelikan pada berbagai metaverse yang tersedia.

Di era open economy pada open metaverse nantinya, sebagian dari masyarakat mungkin saja memilih pekerjaan tetap di metaverse sebagai kehidupan di parallel world-nya, dan tentunya mendapatkan pendapatan yang cukup untuk menunjang kehidupannya. Seorang arsitek yang kreatif dapat menjadi seorang full-time arsitek yang futuristik di metaverse, merancang berbagai hal yang hanya terbatas oleh imaginasinya — di mana mungkin sulit dilakukan di dunia nyata (IRL). Atau seseorang dapat bekerja full-time sebagai play-to-earn user.

Tentunya, banyak hal menarik yang masih akan terus terjadi di tahun-tahun mendatang. Mari kita sama-sama mencermati berbagai perkembangannya ini.

Referensi

--

--

No responses yet